Wednesday, June 11, 2014

Penerapan Etika Kehidupan Dalam Beragama ISLAM


KATA PENGANTAR

            Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT serta junjungan kita semua Nabi Muhammad SAW, dan tak lupa pula kami ucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada dosen pembimbing kami, Bapak Muhammad Syukur yang telah menggagas pembuatan makalah ini.
Makalah ini bertemakan Tentang Penerapan Etika Kehidupan Dalam Beragama ISLAM
. Pemilihan tema ini didasarkan atas kondisi masyarakat zaman sekarang ini yang kurang memperhatikan bahkan mengabaikan nilai-nilai dari penerapan etika kehidupan dalam baragama  islam itu sendiri. Terutama generasi muda yang sesungguhnya merupakan penerus bangsa, justru banyak yang tidak mempedulikan masalah ini. Padahal, jika sebagian besar anak-anak muda mengabaikan etika, akhlaq, serta sopan santun mereka maka moral bangsa kita tidak lama lagi akan hancur. Pembuatan makalah ini ditujukan sebagai bahan pembelajaran kepada siapa saja yang ingin memperdalam masalah penerapanetika dalam kehidupan beragama yang sesuai dengan pandangan Islam.
Makalah ini disusun dengan tujuan sebagai sarana untuk mengetahui tentang Penerapan Etika Kehidupan Dalam Beragama Islam. Selain itu, Makalah ini juga merupakan sarana untuk mengembangkan kemampuan, potensi dan bakat yang ada pada diri saya. Oleh karena itu saya  menyampaikan terimakasih kepada:
1.      Ibu Dra. Nining Farida Selaku Kepala Sekolah di SMKN 1 NGULING
2.      Bapak Leopold M. Siagian, S.Pd Selaku Wali Kelas
3.      Ibu Rara Selaku Pembimbing Mata Pelajaran Bahasa Indonesia
            Demikianlah kata pengantar dari kami. Apabila dalam makalah ini terdapat suatu kekurangan ataupun kesalahan, mohon dimaklumi dan semoga makalah ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Sekian.
Nguling, 12 juni 2014
                                                                                                                                     


                                                                                                                        Penyusun









BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral. Oleh karena itu,  seharusnya kita sebagai warga negaranya wajib menjaga dan memelihara nilai-nilai kebudayaan yang ada. Namun, akhir-akhir ini banyak terjadi kasus penyimpangan seperti, banyak kasus pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Yang lebih memprihatinkan lagi, sebagian besar pelaku dari kasus-kasus tersebut melibatkan generasi muda.
Hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap akhlak dan etika. Akhlak dan etika dipelajari hanya bersifat teoritis tanpa ada penerapan secara keseluruhan dalam kehidupan sehari-hari.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang dikemukakan dalam latar belakang maka penulis menarik suatu rumusan masalah sebagai berikut :
a.     Apakah yang dimaksud dengan akhlak?
b.    Siapa saja yang menjadi sasaran dari penerapan akhlak?
c.    Apa pengertian dari Moral dan Etika?
d.    Apa saja etika yang berlaku dalam masyarakat Muslim?
e.     Bagaimana aktualisasi akhlak dan etika dalam kehidupan?

1.3. Tujuan
Setelah membaca makalah ini, diharapkan kita dapat:
a.       Menjelaskan arti akhlak, etika, dan moral serta ruang lingkup pembahasannya.
b.      Menjelaskan dan memahami perbedaan antara akhlak, moral, dan etika.
c.       Menganalisis bahwa agama sesungguhnya adalah akhlak yang baik.
d.      Menjelaskan bagaimana akhlak yang baik terhadap Allah, terhadap sesama manusia, dan terhadap lingkungan hidup.
e.       Mengimplementasikan akhlak dalam kehidupan, mampu mengubah kebiasaan buruk menjadi baik dan terpuji.
f.       Berperilaku sesuai dengan nilai-nilai akhlak al-karimah, baik sebagai individu, anggota masyarakat, maupun sebagai anggota institusi pemerintah.

1.4.Manfaat
Diharapkan makalah ini dijadikan bahan pembelajaran untuk kita dalam memperbaiki akhlak dan etika sesuai dengan syariat Islam.



          BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Akhlak
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akhlak diartikan sebagai budi pekerti atau kelakuan. Namun, yang ditemukan dalam Al-Quran hanyalah bentuk tunggal dari kata tersebut yaitu khuluq yang tercantum dalam surat Al-Qalam.
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ
Sesungguhnya engkau [Muhammad] berada di atas budi pekerti yang agung.
(QS Al-Qalam [68]: 4)
Kata akhlak banyak ditemukan di dalam hadis-hadis Nabi saw, salah satunya adalah hadis yang berbunyi: “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
Akhlak atau kelakuan manusia sangat beragam. Keanekaragaman tersebut dapat ditinjau dari berbagai sudut, antara lain nilai kelakuan yang berkaitan dengan baik dan buruk, serta dari objeknya, yakni kepada siapa kelakuan itu ditujukan.
Baik dan Buruk
Apakah kelakuan itu (baik atau buruk) merupakan hasil pilihan atau perbuatan manusia sendiri, ataukah berada di luar kemampuannya?
Dalam kehidupan nyata terlihat bahwa terdapat manusia yang berkelakuan baik, dan juga sebaliknya. Ini berarti manusia memiliki kedua potensi tersebut. Hal ini terurai di beberapa ayat Al-Quran, antara lain:
çm»oY÷ƒyydur ÈûøïyôÚ¨Z9$# ÇÊÉÈ
Maka Kami telah memberi petunjuk (kepada)-nya (manusia) dua jalan mendaki (baik dan buruk) (QS Al-Balad [90]:10)
<§øÿtRur $tBur $yg1§qy ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $yduqègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ
...dan (demi) jiwa serta penyempurnaan ciptaannya, maka Allah mengilhami (jiwa manusia) kedurhakaan dan ketakwaan (QS. Asy-Syams [91]: 7-8).

Walaupun kedua potensi ini terdapat dalam diri manusia, namun ditemukan isyarat-isyarat dalam Al-Quran bahwa kebajikan lebih dahulu menghiasi diri manusia daripada kejahatan, dan bahwa manusia pada dasarnya cenderung kepada kebajikan. Sebagai bukti adalah sebelum digoda oleh Iblis, Adam tidak durhaka, dalam arti, tidak melakukan sesuatu yang buruk, dan bahwa akibat godaan itu, ia menjadi tersesat.
Kecenderungan manusia terhadap kebaikan juga terdapat dalam hadis-hadis Nabi Saw, antara lain yang menyebutkan: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), hanya saja kedua orang-tuanya (lingkungannya) yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi” (HR Bukhari).
            Seorang sahabat Nabi Saw, bernama Wabishah bin Ma’bad berkunjung kepada Nabi Saw, lalu beliau menyapanya dengan bersabda:
“Engkau datang menanyakan kebaikan?” “Benar, wahai Rasul.” Jawab Wabishah. “Tanyailah hatimu! Kebajikan adalah sesuatu yang tenang terhadap jiwa, dan yang tentram terhadap hati, sedangkan dosa adalah yang mengacaukan hati dan membimbangkan dada, walaupun setelah orang memberimu fatwa” (HR Ahmad dan Ad-Darimi).
Potensi yang dimiliki manusia untuk melakukan kebaikan dan keburukan, serta kecenderungannya yang mendasar kepada kebaikan, seharusnya mengantarkan manusia memperkenankan perintah Allah (agama-Nya) yang dinyatakan-Nya sesuai dengan fitrah (asal kejadian manusia). Dalam Al-Quran surat Ar-Rum (30): 30 dinyatakan,
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah). Itulah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu (QS. Ar-Rum [30]: 30).

Pertanggungjawaban
Al-Quran membebaskan manusia untuk memilih kedua jalan (baik atau buruk), tetapi ia sendiri harus mempertanggungjawabkan pilihannya. Manusia tidak boleh membebani orang lain untuk memikul dosanya, tidak juga dosa orang lain dipikulkan ke atas pundaknya. Tetapi dalam Al-Quran surat Al-An’am ayat 164 dinyatakan bahwa tanggung jawab tersebut baru dituntut apabila memenuhi syarat-syarat tertentu, seperti pengetahuan, kemampuan, serta kesadaran.
Ÿwur âÌs? ×ouÎ#ur uøÍr 3t÷zé& 3 $tBur $¨Zä. tûüÎÉjyèãB 4Ó®Lym y]yèö6tR Zwqßu ÇÊÎÈ
... dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul (QS Al-Isra’ [17]: 15).

Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR žwÎ) $ygyèóãr 4
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya... (QS. Al-Baqarah [2]: 286).

Dari kedua ayat diatas, kita dapat memetik kaidah yang berkaitan dengan tanggung jawab, yaitu:
1.      Manusia tidak diminta untuk mempertanggungjawabkan apa yang tidak diketahui atau tidak mampu dilakukannya.
2.      Manusia tidak dituntut mempertanggungjawabkan apa yang tidak dilakukannya, sekalipun hal tersebut diketahuinya.
Di sisi lain ditemukan ayat-ayat yang menegaskan bahwa pertanggungjawaban tersebut berkaitan dengan perbuatan yang disengaja, bukan gerak refleks yang tidak melibatkan kehendak. Seperti yang ditegaskan dalam Al-Quran:
žw ãNä.äÏ{#xsムª!$# Èqøó¯=9$$Î þÎû öNä3ÏY»yJ÷ƒr& `Å3»s9ur Nä.äÏ{#xsム$oÿÏ3 ôMt6|¡x. öNä3çqè=è% 3
Allah tidak akan meminta pertanggungjawabanmu atas sumpah-sumpah yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia akan meminta pertanggungjawabanmu terhadap apa yang disengaja oleh hatimu... (QS Al-Baqarah [2]: 225).

Ç`yJsù §äÜôÊ$# uŽöxî 8ø$t Ÿwur 7Š$tã Ixsù zNøOÎ) Ïmøn=tã 4
...tetapi jika seseorang terpaksa, sedangkan ia tidak menginginkannya, dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.. (QS. Al-Baqarah [2]: 173).

Dapat juga disimpulkan bahwa karena manusia diberi kemampuan untuk memilih, maka pertanggungjawaban berkaitan dengan niat dan kehendaknya. Oleh karena itu, maka niat dan kehendak seseorang mempunyai peran yang sangat besar dalam nilai amal sekaligus dalam pertanggungjawabannya.

Tolak Ukur Kelakuan Baik
Tolak ukur kelakuan baik dan buruk haruslah merujuk kepada ketentuan Allah karena apa yang dinilai baik oleh Allah, pasti baik dalam esensinya. Demikian pula sebaliknya. Contohnya, tidak mungkin Allah menilai kebohongan sebagai kelakuan baik, karena kebohongan esensinya buruk.
Allah selalu menunjukan kebaikan, bahkan Dia memiliki segala sifat yang terpuji. Seperti yang ditegaskan dalam surat Thaha (20): 8
ª!$# Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ( ã&s! âä!$yJóF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# ÇÑÈ
(Dialah) Allah, tiada Tuhan selain Dia, Dia mempunyai sifat-sifat yang terpuji (Al-Asma’ Al-Husna) (QS Thaha [20]: 8).

Rasulullah Saw juga memerintahkan umatnya agar berusaha sekuat kemampuan dan kapasitasnya sebagai makhluk untuk meneladani Allah dalam semua sifat-sifat-Nya.
“Berakhlaklah dengan akhlak Allah”.
Merupakan keistimewaan bagi seseorang menjadikan sifat-sifat Allah sebagai tolak ukur, dan tidak menjadikan manfaat yang sesaat sebagai tolak ukur kebaikan.
Sasaran Akhlak
Akhlak dalam ajaran agama tidak dapat disamakan dengan etika, jika etika dibatasi pada sopan santun antarsesama manusia, serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.
Akhlak lebih luas maknanya daripada yang telah dikemukakan terdahulu serta mencakup pula beberapa hal yang bukan merupakan sifat lahiriah. Misalnya yang berkaitan dengan sikap batin maupun pikiran. Akhlak diniah (agama) mencakup berbagai aspek, dimulai dari akhlak terhadap Allah, hingga kepada sesama makhluk (manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa).
Beberapa sasaran akhlak islamiyah, antara lain:
a.       Akhlak terhadap Allah          
Titik tolak akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuham melainkan Allah. Dia memiliki sifat-sifat terpuji, demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikat pun tidak akan mampu menjangkau hakikat-Nya.
            Itulah sebabnya mengapa Al-Quran mengajarkan kepada manusia untuk memuji-Nya. Bahkan semua makhluk — kecuali nabi-nabi tertentu—selalu menyertakan pujian mereka kepada Allah dengan menyucikan-Nya dari segala kekurangan.
ßbÎ)ur `ÏiB >äóÓx« žwÎ) ßxÎm7|¡ç ¾ÍnÏ÷Kpt¿2
...dan tidak ada sesuatu pun kecuali bertasbih (menyucikan Allah) sambil memuji-Nya... (QS Al-Isra’ [17]: 44).
           
            Semua itu menunjukkan bahwa makhluk tidak dapat mengetahui dengan baik dan benar betapa kesempurnaan dan keterpujian Allah swt. Itu sebabnya mereka—sebelum memuji-Nya—bertasbih terlebih dahulu dalam arti menyucikan-Nya. Bertitik tolak dari uraian mengenai kesempurnaan Allah, tidak heran jika Al-Quran memerintahkan manusia untuk berserah diri kepada-Nya, karena segala yang bersumber dari-Nya adalah baik, benar, indah, dan sempurna.
b.      Akhlak terhadap sesama manusia
Banyak rincian yang dikemukakan Al-Quran berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam bentuk larangan melakukan hal-hal negatif seperti membunuh, menyakiti badan, atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati, seperti menceritakan aib seseorang di belakangnya, tidak peduli aib itu benar atau salah.
Di sisi lain Al-Quran menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukkan sebagai manusia seperti manusia yang lain. Al-Quran juga menekankan perlunya privasi (kekuasaan atau kebebasan pribadi).

$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=äzôs? $·?qãç uŽöxî öNà6Ï?qãç 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #n?tã $ygÎ=÷dr& 4
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum kamu meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya... (QS An-Nur [24]: 27)

Setiap manusia juga diwajibkan untuk menjawab salam (QS An-Nisa’ [4]: 86). Dan berbicara sesuai dengan keadaan dan kedudukan mitra bicara, serta harus berisi perkataan yang benar.
(#qä9qè%ur Zwöqs% #YƒÏy ÇÐÉÈ
...dan katakanlah perkataan yang benar (QS. Al-Ahzab [33]: 70).

Tidak wajar seseorang mengucilkan seseorang atau kelompok lain, tidak wajar pula berprasangka buruk tanpa alasan, atau menceritakan keburukan seseorang, dan menyapa atau memanggilnya dengan seputan buruk. Dan jika orang lain melakukan kesalahan terhadap kita, hendaknya dimaafkan.
Sebagian ciri orang bertakwa dijelaskan dalam Al-Quran surat Ali Imran (3): 134, yaitu:
tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáøtóø9$# tûüÏù$yèø9$#ur Ç`tã Ĩ$¨Y9$# 3 ª!$#ur =Ïtä šúüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÌÍÈ
...maksudnya mereka mampu menahan amarahnya, dan memaafkan, (bahkan) berbuat baik (terhadap mereka yang pernah melakukan kesalahan terhadapnya), sesungguhnya Allah senang terhadap orang yang berbuat baik.

            Dalam Al-Quran juga dianjurkan untuk mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi. Seorang muslim yang mengikuti petunjuk-[etunjuk akhlak Al-Quran disebut al-muhsin.
c.       Akhlak terhadap lingkungan
Yang dimaksud lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda yang tak bernyawa. Pada dasarnya, akhlak yang diajarkan Al-Quran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Sebagai contoh, dalam pandangan akhlak Islam, seseorang tidak dibenarkan mengambil buah sebelum matang, atau memetik bunga sebelum mekar, karena hal ini berarti tidak memberi kesempatan kepada makhluk untuk mencapai tujuan penciptaannya. Ini berarti manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proes yang sedang berjalan, dan terhadap semua proses yang sedang terjadi. Sehingga ia akan bertanggung jawab dengan tidak melakukan perusakan. Seperti yang tercantum dalam Al-Quran surat Al-Hasyr (59): 5, yaitu:
$tB OçF÷èsÜs% `ÏiB >puZŠÏj9 ÷rr& $ydqßJçGò2ts? ºpyJͬ!$s% #n?tã $ygÏ9qß¹é& ÈbøŒÎ*Î6sù «!$#
Apa saja yang kamu tebang dari pohon (kurma) atau kamu biarkan tumbuh, berdiri di atas pokoknya, maka itu semua adalah atas izin Allah...
(QS Al-Hasyr [59]: 5).
Dari pernyataan di atas mengundang seluruh manusia untuk tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, dan jenisnya saja, melaikan juga harus berpikir dan bersikap demi kemaslahatan semua pihak. Ia tidak boleh bersikap sebagai penakluk alam atau berlaku sewenang-wenang terhadapnya, karena hanya Allah yang dapat menundukkan alam. Manusia tidak sedikit pun mempunyai kemampuan kecuali berkat kemampuan yang dianugrahkan Allah kepadanya.
Dengan demikian, manusia tidak mencari kemenangan, tetapi keselarasan dengan alam. Keduanya tunduk kepada Allah, sehingga mereka harus dapat bersahabat.
Al-Quran menekankan agar umat Islam meneladani Nabi Muhammad saw. Yang membawa rahmat untuk seluruh alam (segala sesuatu). Nabi Muhammad pernah mengajarkan “Bertakwalah kepada Allah dalam perlakuanmu terhadap binatang, kendarailah, dan beri makanlah dengan baik”.
Terdapat juga firman Allah yang menyebutkan “Janganlah ada satu kaum yang merendahkan kaum yang lain.” (QS Al-Hujurat: 11)
t¤yur ä3s9 $¨B Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# $YèÏHsd çm÷ZÏiB
Dan Dia (Allah) menundukkan untuk kamu, semua yang ada di langit dan di bumi, semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya (QS Al-Jatsiyah [45]: 13).

Ini berarti bahwa alam raya telah ditundukkan Allah untuk manusia. Manusia dapat memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya. Namun pada saat yang sama, manusia tidak boleh tunduk dan merendahkan diri kepada segala sesuatu yang telah direndahkan Allah untuknya. Ia tidak boleh diperbudak oleh benda-benda itu sehingga mengorbankan kepentingannya sendiri. Manusia dalam hal ini dituntut untuk selalu mengingat-ingat, bahwa ia boleh meraih apapun asalkan yang diraihnya serta cara meraihnya tidak mengorbankan kepentingannya di akhirat kelak.
Jadi, keberagaman seseorang diukur dari akhlaknya. Nabi muhammad bersabda:
“Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan (amal) seorang mukmin pada hari akhir, melebihi akhlak yang luhur” (HR. At-Tirmidzi).
2.2    Moral dan Etika
Di samping akhlak, dikenal pula istilah moral dan etika. Moral secara etimologis berasal dari bahasa latin mores, kata jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Sedangkan dalam bahasa Indonesia moral diartikan dengan susila. Dalam hal ini yang dimaksud adat kebiasaan adalah tindakan manusia yang sesuai dengan ide-ide umum yang diterima masyarakat, mana yang baik dan wajar. Oleh karena itu dapat diartikan moral adalah perilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima meliputi kesatuan sosial atau lingkungan tertentu.
Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral). Etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu. Etika lebih bersifat teoritis sedangkan moral lebih bersifat praktis. Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran, etika menjelaskan ukuran itu.
Namun demikian, dalam beberapa hal antara akhlak, etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, Standar baik dan buruknya akhlak adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah, jika dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat.

Menurut  Ensiklopedi Muslim, ada 14 pasal Etika, meliputi:
Pasal Pertama: Etika Niat
Keimanan orang Muslim kepada urgensi niat bagi seluruh amal perbuatan, dan kewajiban. Perbaikan  niat itu pertama,
            Firman Allah Ta’ala:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.”
(Al-Bayyinah: 5)
            Kedua, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
“Allah tidak melihat kepada bentuk fisik kalian, dan harta kalian, namun  melihat kepada hati kalian, dan amal perbuatan kalian.” (Muttafaq Alaih)



Pasal Kedua: Etika Terhadap Allah Ta’ala
Ada pun wujud etika terhadap Allah Ta’ala meliputi:
·         Bersyukur atas nikmat Allah, dan menggunakannya dalam kebaikan
·         Malu melakukan maksiat
·         Bertaubat dengan benar
·         Bertawakkal kepada-Nya
·         Mengharap rahmat-Nya
·         Takut akan siksa-Nya
·         Berbaik sangka bahwa Allah Ta’ala pasti menepati janji-Nya

Pasal Ketiga: Etika Terhadap Al-Quran
Dalam membaca Al-Quran juga terdapat etika-etika sebagai berikut:
·         Membaca dalam kondisi yang paling sempurna
·         Membaca dengan tartil, tidak tergesa-gesa, dan  tidak mengkhatamkannya kurang dari tiga malam
·         Khusyu’ dalam membaca
·         Memperindah suara ketika membaca Al-Quran
·         Merahasiakan tilawahnya, jika khawatir riya’, atau sum’ah, atau mengganggu orang sholat
·         Tidak menentang dan melalaikan Al-Quran ketika membacanya
·         Berusaha keras memiliki sifat orang-orang yang menjadi keluarga Allah Ta’ala

Pasal Keempat: Etika Terhadap Rasulullah SAW
Etika terhadap Rasulullah adalah sebagai berikut:
·         Taat kepada Rasulullah SAW, menapaktilasi jejaknya, dan meniti jalannya di dunia maupun akhirat
·         Cinta kepada Rasulullah SAW
·         Mencintai siapa saja yang dicintai Rasulullah, memusuhi siapa saja yang dimusuhi beliau, ridha dengan apa saja yang diridhainya, dan marah kepada apa yang dimarahi beliau
·         Mengagungkan nama Rasulullah SAW
·         Membenarkan segala sesuatu yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW
·         Menghidupkan sunnah Rasulullah, memenangkan syariatnya, menyampaikan dakwahnya, dan melaksanakan wasiat-wasiatnya
·         Merendahkan suara di kuburannya dan masjidnya
·         Mencintai orang-orang shalih, loyal kepada mereka karena kecintaan kepada Rasulullah kepada mereka, marah kepada orang-orang fasik, dan memusuhi mereka, karena kemarahan beliau kepada mereka.

Pasal Kelima: Etika Terhadap Diri Sendiri
            Firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (Asy-Syams: 9-10)
Oleh karena itulah, orang muslim tidak henti-hentinya membina dirinya, menyucikannya, dan membersihkannya dengan etika-etika yang baik.
Pembersihan diri tersebut dapat dicapai dengan jalan berikut:
·         Taubat, melepaskan diri dari semua dosa dan kemaksiatan, menyesali semua dosa masa lalunya, dan bertekad tidak kembali kepada dosa di sisa-sisa umurnya.
·         Muraqabah, orang muslim mengkondisikan dirinya merasa diawasi Allah Ta’ala di setiap waktu kehidupan hingga akhir kehidupannya.
·         Muhasabah (Evaluasi), perbaikan diri (jiwa), pembinaannya, penyuciannya, dan pembersihannya.
·         Mujahadah (Perjuangan), terutama perjuangan melawan hawa nafsu.

Pasal Keenam: Etika Terhadap Manusia
Etika terhadap manusia dan makhluk ciptaan Allah Swt. lainnya meliputi:
·         Etika terhadap orang tua
·         Etika terhadap anak-anak
·         Etika terhadap saudara
·         Etika terhadap suami-istri
·         Etika terhadap sanak kerabat
·         Etika terhadap tetangga
·         Etika terhadap muslim lainnya dan hak-hak muslim atas dirinya
·         Etika terhadap orang kafir
·         Etika terhadap hewan

Pasal Ketujuh: Etika Ukhuwah karena Allah
Orang muslim karena imannya tidak mencintai ketika ia harus mencintai melainkan karena Allah Ta’ala, dan tidak membenci ketika ia harus membenci melainkan karena Allah Ta’ala, karena ia tidak mencintai dan membenci kecuali apa yang dicintai dan dibenci Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Rasulullah Saw. menganjurkan untuk menjadikan teman-teman yang baik sebagai saudara-saudara karena Allah Ta’ala dengan sabda-sabdanya,
 seperti sabda-sabda berikut ini:
Mereka saling mencintai karena Allah, saling duduk karena Allah, dan saling mengunjungi karena Allah. (HR An-Nasai).
Syarat ukhuwah (persaudaraan) ialah harus karena Allah Ta’ala, dan di jalan-Nya dalam arti kata bersih dari ikatan-ikatan dunia dan materi, serta motivasinya ialah iman kepada Allah Ta’ala, dan bukan yang lain.
Adapun ciri-ciri orang yang harus dijadikan sebagai saudara ialah sebagai berikut:
1.      Ia berakal, karena tidak baik bersaudara, atau bersahabat dengan orang yang kurang waras.
2.      Ia berakhlak mulia, sebab orang yang tidak bermoral kendati ia berakal, namun bisa saja ia dikalahkan syahwat, dan emosi mendominasinya, akibatnya ia berbuat jahat kepada orang lain.
3.      Ia bertakwa, karena orang fasik yang tidak taat kepada Tuhannya itu tidak nisa dipercay, sebab tidak tertutup kemungkinan ia berbuat jahat terhadap saudara tanpa memperdulikan persaudaraan, dan lain sebagainya.
4.      Ia berpegegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, jauh dari khufarat, dan bid’ah, sebab akibat buruk pelaku bid’ah itu menimpa temannya.
Hak-hak Ukhuwah
Di antara hak-hak ukhuwah (persaudaraan) ialah sebagai berikut:
1.      Membantu dengan dana.
2.      Membantu dalam memenuhi kebutuhan.
3.      Menjaga lisan dan tidak membeberkan aib, tidak membongkar seluruh rahasia dan tidak berusaha mengetahui rahasia-rahasia saudaranya.
4.      Memberi sesuatu yang dicintai saudaranya dari lisannya dengan memanggilnya dengan nama yang paling ia sukai, menyebut kebaikkannya tanpa sepengetahuannya, menyampaikan pujian orang kepadanya, tidak menasehati berjam-jam, dan tidak menasehatinya di depan umum karena dapat mencemarkan nama baiknya.
5.      Memaafkan kesalahannya, menutup aib-aibnya, berbaik sangka kepadanya, tidak membatalkan tali persaudaraan namun tetap menunggu taubatnya jika saudaranya berbuat maksiat.
6.      Memenuhi hak ukhuwah dengan mempertahankan dan menguatkan perjanjiannya. Jika ia meninggal dunia makan mentransfer hubungan kepada anak-anaknya.
7.      Tidak menyuruh saudaranya dengan sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan, dan tidak ia senangi.
8.      Mendoakan saudaranya, anak-anaknya, dan apa saja yang terkait dengannya sebagaimana ia senang mendoakan dirinya, anak-anak kandungnya.
Rasulullah bersabda:
Jika seseorang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya, maka malaikat berkata, “Engkau juga mendapatkannya”. (HR. Muslim)

Pasal Kedelapan: Etika Duduk dan Ruang Pertemuan
Adapun etika dalam duduk meliputi :
1.      Jika ia ingin duduk, maka pertama-tama ia mengucapkan salam kepada orang-orang yang telah duduk sebelumnya, tidak duduk di antara dua orang kecuali dengan izin keduanya.
2.      Tidak duduk di tengah-tengah forum pertemuan.
3.      Jika ia duduk, duduk dengan tenang, tidak menyela jari-jemarinya, tidak bermain-main dengan jenggot dan cincinnya, tidak mencungkil sisa makanan di giginya, tidak memasukkan tangan ke hidungnya, tidak banyak berdahak, tidak banyak bersin, dan tidak banyak menguap, tidak banyak bicara, menghindari canda, menjauhi perdebatan, dan tidak membicarakan kehebatan diri sendiri, keluarga atau anak-anaknya.
4.      Jika orang Muslim duduk di jalan, maka ia memperhatikan etika-etika berikut ini:
a.       Ia menahan pandangan saat melihat wanita Mukminah yang sedang berjalan, tidak membiarkan matanya iri atau menghina orang lain.
b.      Menahan diri dari mengganggu para pengguna jalan dengan tidak menyakiti pengguna jalan dengan lisannya atau dengan tangannya, tidak merampas harta orang lain, tidak menghalangi perjalanan pengguna jalan, dan tidak memutus jalan mereka.
c.       Menjawab salam jika ada pengguna jalan yang mengucapkan salam.
d.      Mengingatkan orang lain kepada kebaikan.
e.       Melarang semua kemungkaran yang dikerjakan di depannya.
f.       Memberi petunjuk jalan kepada orang yang tersesat.

Pasal Kesembilan: Etika Makan dan Minum
Orang Muslim melihat makanan dan minuman itu sebagai sarana, dan bukan tujuan. Ia tidak makan dan minum karena makanan dan minuman, serta syahwat keduanya saja. Oleh karena itu, jika ia tidak lapar maka ia tidak makan, dan jika ia tidak kehausan maka ia tidak minum. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
“Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali kami lapar, dan jika kami makan maka kami tidak sampai kekenyangan.”
a.       Etika sebelum makan adalah sebagai berikut:
1.      Makanan dan minumannya halal, bersih dari kotoran-kotoran haram, dan syubhat.
2.      Ia menguatkan makanan dan minumannya untuk menguatkan ibadahnya kepada Allah Ta’ala.
3.      Ia mencuci kedua tangannya sebelum ia makan jika keduanya kotor, atau ia tidak dapat memastikan kebersihan keduanya.
4.      Ia duduk dengan tawadlu’.
5.      Menerima makanan yang ada dan tidak mencacatnya. Jika ia tertarik maka ia memakannya, dan jika tidak maka ia tidak memakannya.
6.      Ia makan bersama orang lain.
b.      Etika ketika sedang makan ialah sebagai berikut:
1.      Memulai makan dengan mengucap basmalah atau doa.
2.      Mengakhiri makan dengan memuji Allah Ta’ala.
3.      Ia makan dengan tiga jari tangan kanannya, mengecilkan suapan, mengunyah makanan dengan baik, makan dari pinggir dan tidak makan dari tengah piring.
4.      Mengunyah makanan dengan baik.
5.      Tidak meniup makanan yang masih panas, memakannya ketika telah dingin, tidak bernapas di air ketika minum, dan bernapas di air hingga tiga kali.
6.      Menghindari kenyang yang berlebih-lebihan.
7.      Memberikan makanan atau minuman kepada orang yang paling tua, dan ia menjadi orang yang paling terakhir kali mendapatkan jatah minuman.
8.      Tidak memulai makan dan minum sedang di ruang pertemuannya terdapat orang yang lebih berhak memulai, karena usia atau karena kelebihan kedudukan.
9.      Ramah ketika makan bersama temannya dan tidak lebih banyak dari porsi temannya.
10.  Tidak melihat teman ketika sedang makan karena bisa membuat malu.
11.  Jika makan bersama orang miskin maka harus mendahulukannya. Jika makan bersama saudaranya maka tidak ada salahnya bercanda dengannya dalam batas yang diperbolehkan. Jika makan bersama orang yang berkedudukan maka harus santun dan hormat kepada mereka.
c.       Etika setelah makan ialah sebagai berikut:
1.      Berhenti makan sebelum kenyang.
2.      Berdoa setelah makan dan minum.
3.      Mencuci tangannya.
4.      Membersihkan sisa-sisa makanan di giginya dan kemudian berkumur untuk membersihkan mulutnya.

Pasal Kesepuluh: Etika Bertamu
Orang muslim beriman kepada kewajiban memuliakan tamu, dan menghormatinya dengan penghormatan yang semestinya.
a.       Mengundang orang untuk bertamu
1.      Mengundang orang yang bertakwa.
2.      Tidak hanya mengundang orang-orang yang kaya saja namun melibatkan yang miskin pula.
3.      Dalam mengundang tamu tidak bermaksud sombong.
4.      Tidak mengundang orang yang mengalami kesulitan untuk bisa memenuhi undangan tersebut.
b.      Etika memenuhi undangan
1.      Tamu yang diundang harus memenuhi undangan dan tidak datang terlambat kecuali karena udzur.
2.      Tidak membedakan antara undangan orang miskin dan undangan orang kaya.
3.      Tidak membedakan undangan yang jauh maupun yang dekat.
4.      Dengan memenuhi undangan, seorang muslim harus berniat memuliakan saudaranya.



c.       Etika menghadiri undangan
1.      Tidak berlama-lama di rumah pengundang.
2.      Jika seorang masuk ke rumah si pengundang, ia tidak boleh menonjolkan dirinya di pertemuan, namun ia harus tawadlu’ di dalamnya.
3.      Tuan rumah harus segera menghidangkan makanan kepada para tamu.
4.      Tuan rumah tidak boleh memberesi makanan sebelum tangan tamu diangkat daripadanya, dan sebelum semua tamu selesai makan.
5.      Tuan rumah harus menghidangkan makanan secukupnya.
6.      Jika tamu singgah di rumah seseorang, ia tidak boleh menginap lebih dari tiga hari kecuali atas permintaan tuan rumah.
7.      Hendaknya tuan rumah mempunyai tiga kamar tidur, satu untuk dirinya, satu untuk keluarga, dan satu untuk tamunya.

Pasal Kesebelas: Etika Bepergian
Orang muslim meyakini bahwa bepergian adalah salah satu kebutuhan hidupnya, sebab haji, umrah, perang, menuntut ilmu, berbisnisdan mengunjungi saudara-saudara seakidahnya merupakan yang menghendaki perjalanan dan bepergian.
a.       Hukum-hukum bepergian
1.      Musafir mengqashar shalat-shalat yang empat raka’at.
2.      Musafir diperbolehkan bertayammum jika ia kehabisan air, atau sulit mendapatkannya, atau harganya mahal.
3.      Musafir mendapatkan keringanan boleh tidak puasa selama dalam perjalanan.
4.      Musafir diperbolehkan mengerjakan shalat sunnah di atas kendaraan ke mana pun kendaraan tersebut mengarah.
5.      Musafir diperbolehkan men-jamak shalat maghrib dengan shalat ashar.
b.      Etika-etika Perjalanan
1.      Musafir harus mengembalikan barang-barang yang dirampasnya dari pemiliknya, dan barang-barang titipan kepada pemiliknya.
2.      Musafir pamit kepada keluarga, saudara-saudara, dan teman-temannya.
3.      Sebelum meninggalkan rumah seorang musafir harus berdoa terlebih dahulu.
4.      Berdoa kepada Allah Ta’ala dalam perjalanan meminta kebaikan dunia akhirat, karena doa orang dalam perjalanan itu dikabulkan.
5.      Jika musafir tidur pada awal malam, ia bentangkan kedua tangannya. Jika ia tidur di akhir malam, ia tegakkan salah satu tangannya, dan meletakkan kepalanya di telapak tangan satunya agar ia tidak kebablasan tidur sehingga ia tidak bisa mengerjakan shalat shubuh pada waktunya.
6.      Dan Wanita tidak boleh bepergian pada sehari atau semalam kecuali dengan mahramnya.

Pasal Kedua Belas: Etika Berpakaian
Pakaian mencerminkan pribadi seseorang. Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan apa saja yang boleh dijadikan pakaian, apa saja yang disunahkan untuk dipakai. Oleh karena itu orang Muslim konsekwen dengan etika-etika berikut dalam berpakaian:
1.      Ia tidak memakai pakaian dari bahan sutra secara mutlak untuk pakaian, sorban, dan lain sebagainya.
2.      Ia tidak memperpanjangkan pakaian atau celananya, atau burnus (sejenis mantel yang bertudung kepala), atau gamis hingga mencapai telapak kaki.
3.      Ia lebih mengutamakan pakaian yang berwarna putih daripada warna yang lainnya.
4.      Wanita muslimah wajib memanjangkan pakaiannya hingga menutupi kedua kakinya, dan memanjangkan kerudung di kepalanya hingga menutupi leher dan dadanya.
5.      Kaum laki-laki tidak boleh menggunakan cincin emas.
Sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam,
Diharamkan pakaian sutra dan emas bagi orang laki-laki dari umatku, dan dihalalkan bagi wanita-wanita mereka. (HR Abu Daud)
6.      Seorang muslim diperbolehkan menggunakan cincin dari perak, atau mencetak namanya di cincin peraknya.
7.      Seorang muslim tidak dibenarkan menutup kain ke seluruh tubuhnya, dan tidak menyisakan tempat keluar untuk kedua tangannya.
8.      Laki-laki muslim tidak boleh mengenakan busana muslimah begitu juga sebaliknya.
9.      Jika berpakaian ia memulainya dengan tangan kanan.
Pasal Ketiga Belas: Etika Sifat-Sifat Fitrah
1.      Khitan, yaitu memotong kulit yang menutupi ujung kemaluan laki-laki. Khitan disunnahkan pada hari ketujuh setelah kelahiran. Tapi boleh juga menunda hingga anak sebelum mencapai usia baligh.
2.      Memotong kumis dan memanjangkan jenggotnya.
3.      Orang muslim juga harus menghindari mengecat jenggotnya dengan warna hitam.
4.      Mencabut rambut ketiak.
5.      Memotong kuku. Disunnahkan memulai memotong kukunya dengan kuku di tangan sebelah kanan dan pada hari jum’at.

Pasal Keempat Belas: Etika Tidur
Tidur adalah salah satu nikmat dari Allah Ta’ala. Itu karena istirahat seseorang beberapa jam pada waktu malam setelah seharian bergerak itu membantu kesegaran badan, kelangsungan perkembangan dan aktifitasnya, agar dengan itu semua ia dapat menunaikan tugas yang diciptakan Allah Ta’ala untuknya.
Mensyukuri nikmat-nikmat itu menghendaki orang muslim menerapkan etika-etika berikut dalam tidurnya:
1.      Tidak menunda tidur setelah shalat Isya’ kecuali untuk keperluan seperti belajar, atau berbicara dengan tamu, atau bercumbu dengan istri.
2.      Berusaha tidak tidur kecuali dalam keadaan berwudlu.
3.      Memulai tidur dengan di atas lambung kanannya (miring ke kanan), berbantal tangan kanannya, dan tidak apa-apa kalau ingin berubah posisi dengan tidur miring ke kiri setelah itu.
4.      Tidak tidur dalam keadaan telungkup, baik tidur di siang hari maupun di malam hari.
5.      Berdoa sebelum dan sebangun tidur.

2.3              Akhlak dan Aktualisasinya dalam Kehidupan
Tujuan pendidikan adalah membentuk manusia berkualitas secara lahiriyah dan bathiniyah. Secara lahiriyah pendidikan menjadikan manusia bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, serta dapat menentukan arah hidupnya ke depan. Sedangkan secara bathiniyah pendidikan diharapkan dapat membentuk jiwa-jiwa berbudi, tahu tata krama, sopan santun dan etika dalam setiap gerak hidupnya baik personal maupun kolektif.
Selain itu agama juga mempunyai peran penting dalam dunia pendidikan, banyak ayat-ayat kauniyah yang menganjurkan umatnya untuk selalu belajar kapanpun dan dimanapun, atau dengan istilah long life education sebagai motivasi agama untuk dunia pendidikan. Misalnya wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW adalah tentang pendidikan, yaitu bagaimana kita membaca perkembangan diri sendiri, orang lain bahkan dunia dengan pengetahuan yang berorientasi agama (ketuhanan).
Kebiasaan merupakan faktor yang paling penting dalam membentuk karakter manusia berakhlak baik. Kebiasaan adalah kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang, oleh karena itu jika kebiasaan tersebut adalah kebiasaan baik maka akan terbentukkah individu yang berkarakter dan berakhlak baik.
Secara singkat Al-Ghazali menyebutkan bahwa untuk mencapai akhlak yang baik ada tiga cara, pertama, akhlak yang merupakan anugrah dan kasih sayang yakni orang yang memiliki akhlak baik secara alamiah (bi al-thabi’ah wa al-fithrah), sebagai sesuatu yang diberikan oleh Allah kepadanya sejak ia lahir. Kedua dengan “mujahadah” (menahan diri) dan ketiga dengan “riyadhah” yang disepakati para sufi.
Upaya mengubah kebiasaan yang buruk menurut Ahmad Amin sebagai yang dikutip Ishak Sholih adalah sebagai berikut:
1.      Menyadari perbuatan buruk, bertekad untuk meninggalkannya.
2.      Mencari waktu yang baik untuk mengubah kebiasaan itu dan mewujudkan niat atau tekad semula.
3.      Menghindari diri dari segala yang dapat menyebabkan kebiasaan buruk itu terulang.
4.      Menghindari diri dari kebiasaan yang buruk dan meninggalkannya.
5.      Menjaga dan memelihara kekuatan penolakan dalam jiwa.
Perbuatan baik dipelihara dengan istiqomah, ikhlas dan jiwa tenang.
6.      Memilih teman bergaul yang baik.
7.      Menyibukkan diri dengan kegiatan yang bermanfaat.
Sedangkan menurut Al-Ghazali, ada 4 cara untuk mengubah akhlak yang buruk (dengan kesadaran diri), yaitu:
1.      Menjadi murid dari pembimbing spiritual (syaikh)
2.      Meminta bantuan teman yang tulus, taat dan punya pengertian untuk mengamati, meneliti serta mengatakan kekurangan yang nyata dan tersembunyi dalam dirinya.
3.      Mengetahui kekurangan kita dari seseorang yang tidak menyenangi kita.
4.      Bergaul dengan banyak orang dan memisalkan kekurangan orang lain bagaikan ada dalam diri kita.
Dari penjelasan di atas, nampak jelas bahwa akhlak merupakan usaha manusia secara lahiriyah, yakni melalui ilmu dan amal. Keteladanan merupakan usaha yang sulit tetapi amat menentukan, memberi motivasi dan yang tidak kalah pentingnya adalah upaya penciptaan suasana kondusif oleh semua pihak untuk menumbuhkan akhlak yang positif di lingkungan sekitar.























BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perbaikan akhlak merupakan bagian dari tujuan pendidikan islam. Pendidikan agama pada dunia pendidikan merupakan modal dasar untuk mendapatkan nilai-nilai ketuhanan, karena dalam pendidikan agama (Islam) diberikan ajaran tentang muamalah, ibadah dan syari’ah yang merupakan dasar ajaran agama. Hal inilah yang menjadikan pendidikan agama sebagai titik awal perkembangan nilai-nilai agama seseorang.
Etika dan akhlaq sesungguhnya adalah hal yang sangat penting dan tidak boleh sekalipun  dipisahkan dari bagian masyarakat kita. Etika dan akhlaq sesungguhnya merupakan penentu jati diri bangsa. Islam sebagai agama yang sempurna telah mengajarkan hal ini dengan tuntunan-tuntunan serta pedoman-pedoman yang sangat lengkap terkandung di dalamnya. Al-Quran sebagai kitab umat Islam telah memberikan contoh yang sangat sempurna untuk diikuti. Semoga setelah membaca makalah ini kita semua dapat memperbaiki sikap-sikap kita sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Islam.
3.2 Saran
Kita sebagai generasi muda, sebaiknya melakukan perbaikan terhadap etika, akhlaq, serta prilaku kita. Indonesia sebagai bangsa timur yang terkenal dengan budaya sopan-santunnya merupakan bangsa besar dan kita sebagai generasi muda memiliki tanggung jawab untuk menjaga ciri khas tersebut.